1.
Pendahuluan
Pengukuran
dielektrik merupakan cara yang analog secara elektrik dengan pengukuran dinamika mekanik. Dalam hal ini
tegangan mekanik digantikan oleh
tegangan bolak balik yang melewati sampel (medan AC) dan regangan bolak
balik menjadi penyimpan muatan (Q) dalam sampel. Sampel yang terkena efek
tegangan tersebut bertindak sebagai kapasitor sederhana. Q selalu diukur
sebagai turunan dari dQ/dt = arus AC. Analisa ini umumnya dilakukan untuk
mengkaji perilaku curing dari sistem resin termosetting, material
komposit, bahan perekat, polimer dan cat.
Data
dielektrik didapatkan dari pengukuran fasa dan amplitudo arus dan tegangan
untuk menyelesaikan komponen ε* = kapasitansi dengan sampel/kapasitansi dengan
suatu gap udara identik. Gambar instrumen DETA ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Salah
satu instrumen DETA dari Beckett Technology
2.
Teori
Material
layaknya polimer dapat menunjukkan perilaku kapasitif (kemampuan untuk menyimpan muatan listrik) dan juga perilaku konduktif
(kemampuan untuk melewatkan muatan listrik). Di bawah kondisi yang diberikan,
material yang diuji dapat direperesentasikan oleh resistor (konduktor) dan
kapasitor secara paralel. Hal ini seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2.
Representasi resistor dan kapasitor secara paralel pada material polimer
Jika
suatu tegangan sinosidal diberikan pada suatu resistor (konduktor), arus yang
dihasilkan yang diukur berada di fasa dengan tegangan yang diberikan. Tidak
terdapat penyimpanan pada muatan manapun oleh resistor.
Ketika
tegangan pada periode yang sama diberikan pada kapasitor, terjadi beberapa
penyimpanan muatan dan sebagai hasilnya arus terukur tampak di luar fasa akibat
tegangan yang diberikan tersebut. Pergeseran fasa dinotasikan sebagai delta, δ,
bernilai 0° untuk konduktor sesungguhnya dan 90° untuk kapasitor sesungguhnya.
Hal ini ditampilkan pada Gambar 3. Material polimer menunjukkan baik sifat
kapasitif maupun konduktif. Hasilnya adalah pergeseran fasa di antara 0° dan
90°.
Gambar 3.
Pergeseran fasa pada kapasitor dan konduktor
Arus
yang terukur (disimbolkan “Imeas”) untuk material polimer dapat
dipisahkan ke dalam komponen-komponen kapasitif dan komponen-komponen konduktifnya.
Diagram Argand (Gambar 4) menggambarkan hal ini dengan mengikuti:
Ikonduktif = Imeas
x cos(fasa)
Ikapasitif = Imeas
x sin(fasa)
Diagram
Argand yang ditunjukkan pada Gambar 4 menunjukkan jika diagram ini
memparalelkan perlakuan modulus kompleks yang digunakan pada data DMA. Nilai
tan δ tidak sebanding untuk proses mekanik dan listrik.
Ikonduktif = Imeas
x cosδ
Ikapasitif = Imeas
x sinδ
Gambar 4.
Diagram Argand
Kapasitansi
dan konduktansi material kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut:
Kapasitansi = Imeas x sin δ/Vin x 2πf
Konduktansi = resistensi – 1 = ImeascosδVin
Dimana
2πf adalah frekuensi angular dan f
adalah frekuensi
Jika
geometri sampel diketahui, maka akan mungkin untuk mengekspresikan respon
kapasitif dan konduktif material sebagai kuantitas tak berdimensi:
e’ konstanta dielektrik atau permitivitas
e” faktor hilang
Istilah
lain yang umum digunakan untuk mengekspresikan respon dielektrik adalah faktor
pemborosan (dissipation) atau tangen hilang:
tan delta = e”/e’
Untuk
elektroda bidang paralel, e’ dan e” dapat dihitung dari pengukuran kapasitansi
dan konduktansi, untuk sampel homogen dengan mengikuti:
e’ Cd/e0A
e” = d/RAW e0
dimana:
C = kapasitansi
R = resistansi
A = luas bidang elektroda
D = jarak bidang
W = frekuensi angular (2πf)
e0 = permitivitas absolut pada free space (8,85 x
10-12 F/M)
Beberapa
fenomena menyebabkan material polimer memiliki komponen kapasitif (e’) dan
konduktif (e”). Fenomena tersebut antara lain:
·
Dipol
terinduksi
Pemisahan muatan pada ikatan non polar yang disebabkan oleh
keberadaan medan listrik. Ikatan-ikatan tersebut bereaksi begitu cepat ke medan
listrik dimana frakuensinya independen.
·
Dipol
statis
Dipol statis ini membutuhkan gerakan molekuler untuk
mengorientasikannya ke medan listrik yang diberikan sehingga frekuensinya
menjadi dependant.
·
Konduksi
ionik
Konduksi ionik disebabkan oleh aliran ion, yang biasanya berupa
pengotor yang terdapat pada medan listrik. Mobilitasnya tidak tergantung
frekuensi.
Gambar
5 menunjukkan pengaruh penerapan medan listrik terhadap material polimer.
Ketika medan diberikan, dipol berusaha mengarahkan medan dan pergerakan ion
berlawanan dengan muatan elektroda.
Gambar 5.
Pengaruh medan listrik pada material polimer
Nilai
e’ dan e” dihitung dari persamaan yang mengkuantitaskan hubungan ini:
e’ = permitivitas yang disebabkan dipol terinduksi + permitivitas
yang disebabkan oleh penyearahan dipol
e” =
dipol faktor hilang + konduktansi ionik.
e’
merepresentasikan jumlah penyearahan dipol terhadap medan listrik. e’ bernilai
kecil untuk polimer pada suhu yang rendah, dibawah transisi termal, karena
molekul dibekukan pada tempatnya dan dipol tidak bisa bergerak untuk menyearahkan
dirinya dengan medan listrik. Hal yang serupa, dimana e’ bernilai rendah untuk
resin termosetting yang terikat silang secara mampat.
e”
mengukur jumlah energi yang dibutuhkan untuk menyearahkan dipol dan ion yang
bergerak. Konduksi ionik tidak signifikan sampai polimer menjadi fluida (diatas
Tg atau Tm). e” menunjukkan energi yang
dibutuhkan untuk menyearahkan dipol di bawah dan selama Tg. e”
menggambarkan sebuah puncak ketika polimer melewati Tg.
Diatas Tg, e” digunakan untuk menghitung konduktivitas ionik bulk:
σ = e”We0
dimana
σ = konduktivitas ionik
W = frekuensi angular
e0 = permitivitas abolut pada free space (8,85 x
10-12 F/M)
Konduktivitas
ionik bulk (σ) dapat digunakan untuk mengikuti perubahan reologi yang
terjadi selama proses termoplastik dan pengarusan termoset. Konduktivitas ionik
berhubungan dengan viskositas, karena fluiditas diidentifikasikan dari
penurunan dimana pengotor ionik dapat bermigrasi melalui sampel.
3.
Prosedur Eksperimen
Sampel
umumnya berupa lembaran tipis, film atau cairan yang ditaruh diantara bidang
elektroda paralel sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Elektroda
pada DETA
Pada
proses preparasi ini sangat penting untuk memastikan adanya kontak yang
sempurna antara sampel dan elektroda, sehingga sampel idealnya memiliki
permukaan yang halus tanpa adanya gelombang/permukaan yang tidak rata. Umumnya,
sampel yang lebih tipis lebih baik daripada sampel yang tebal. Ketebalan ideal
yang dari sampel adalah 2 mm atau kurang.
Apabila
suatu sampel tidak halus/rata, maka dibutuhkan pelapisan percikan (sputter
coating) pada sampel tersebut dengan coating yang bersifat konduktif
medium. Bahan coating yang ideal adalah emas, namun biayanya cenderung
mahal. Perak atau aluminium dapat pula digunakan sebagai bahan coating
namun permukaan dapat teroksidasi dengan cepat sehingga analisanya pun harus
dilakukan secepat mungkin setelah sampel selesai dipreparasi.
Pelapisan
(coating) ini akan menghilangkan gap udara antara sampel dengan
elektroda efektif (yakni logam yang terlapisi secara sputter) sehingga
akan mengeliminasi data yang tidak diperlukan. Alternatif yang bisa dilakukan
adalah coating dari material yang
inert secara dielektrik dapat diterapkan pada sampel untuk menghilangkan
kantung udara. Material tersebut umumnya berupa jeli minyak (petroleum jelly).
Elektroda
DETA pada umumnya bersifat spring loaded untuk memelihara kontak positif
dengan sampel melalui profil termal. Elektroda tersebut dapat dikunci ke dalam
tempat jika memang dibutuhkan untuk menghindari fluida yang bertekanan tumpah
keluar. Contoh hasil analisa yang diperoleh seperti ditunjukkan pada Gambar 7
di bawah ini.
Gambar 7.
Grafik hasil analisa DETA
4.
Aplikasi Penggunanan Instrumen DETA
Instrumen
DETA dapat digunakan untuk beberapa aplikasi utamanya untuk melakukan kajian
terhadap karakter suatu material atau suatu proses tertentu yang terjadi dalam
material tersebut. Salah satunya adalah untuk mempelajari proses polimerisasi
termal dari monomer-monomer benzoxazine untuk membentuk polimer polibenzoxazine
seperti yang dilakukan oleh Gârea dkk. (2007).
Polibezoxazine
merupakan salah satu jenis resin fenolik termosetting yang memiliki beberapa
sifat unggulan antara lain suhu transisi gelas (Tg) yang
tinggi, stabilitas termal yang tinggi, sifat mekanik yang baik, adsorpsi air
yang rendah, resistensi yang baik terhadap pembakaran dan juga harganya yang
murah. Material ini banyak dipalikasikan sebagai material lapisan pelindung
pada sirkuit televisi, chip komputer, badan pesawat terbang, agen curing
untuk resin sintetis yang lain serta pernis yang membentuk film tipis dengan
resistensi yang baik terhadap air, alakali dan pelarut.
Polimerisasi
pada monomer benzoxazine melalui pemutusan cincin heterosiklik pada suhu tinggi
tanpa adanya katalis dan tanpa menghasilkan produk samping. Sampai saat ini
sudah banyak jenis senyawa fenol dan amina primer yang telah digunakan untuk
sintesis resin benzoxazine.
Tujuan
utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji proses polimerisasi termal dari
empat monomer benzoxazine yang berbeda, yakni
bis(4-benzil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil) isopropana (BA-BZA), bis(4-sikloheksil-3,4-dihidro-2H-1,3
benzoxazinil) isopropana (BA-CHA),
bis(4-benzil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil)metana (BF-BZA),
bis(4-sikloheksil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil) metana (BF-CHA) dengan
beberapa teknik antara lain kromatografi permeasi gel (GPC) FTIR, dan DETA.
Reaktan utama yang digunakan dalam sintesis keempat jenis monomer benzoxazine
tersebut adalah formaldehid, benzilamin (BZA), sikloheksilamin (CHA), bisfenol
A (BA), bisfenol F (BF). Dalam makalah ini hanya akan dibahas peran analisa dengan DETA pada
proses polimerisasi monomer benzoxazine tersebut. Dalam hal ini, DETA juga
digunakan untuk menentukan waktu gel.
Analisa
dengan DETA dilakukan dimana jarak minimum antara elektroda atas dan bawah
adalah 0,1 mm. Eksperimen dilakukan pada empat frekuensi yang berbeda dalam rentang
0,316-10 Hz dan pada laju pemanasan 5 °C/menit.
Reaksi
umum untuk sintesis monomer benzoxazine ditunjukkan pada Gambar 8, sementara
struktur benzoxazine yang disintesis ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 8.
Reaksi kimia pada sintesisi monomer bezoxazine.
Gambar 9.
Struktur molekul monomer benzoxazine yang disintesis.
Analisa
awal yang dilakukan dengan FTIR dan GPC menghasilkan skema polimerisasi termal
dari polibezoxazin seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10.
Reaksi pada sintesis polibenzoxazine melalui polimerisasi termal.
Hasil
analisa dengan DETA ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan plot
antara konduktivitas ionik terhadap fungsi waktu selama proses polimerisasi
isotermal pada suhu 170 °C. Konduktivitas ionik dihitung dari faktor hilang
menurut persamaan
Dimana σ merupakan konduktivitas ionik, e0 adalah permitifitas absolut pada free space
(8,85 x 10-12 F/m), e” faktor hilang dielektrik, w merupakan frekuensi angular.
Gambar 11. Grafik konduktivitas ion terhadap
waktu untuk polimerisasi isotermal (170 C)
dari monomer benzoxazine pada frekuensi
yang berbeda: (1) 0,316 Hz, (2) 1
Hz, (3) 3,16 Hz, dan (4) 10 Hz
Terdapat
dua fenomena utama yang memberikan pengaruh terhadap e” ,
yakni konduktivitas ionik dan relaksasi dipol. Pada permulaan reaksi
polimerisasi, konduktivitas merupakan faktor yang dominan, namun menjelang
akhir dari reaksi, e” menjadi lebih tergantung pada relaksasi dipol.
Kajian yang saat ini telah diketahui adalah jika konduktivitas ionik tidak
tergantung pada frekuensi, namun relaksasi dipol tergantung pada frekuensi. Untuk
mengungkap kontribusi dari kedua faktor tersebut terhadap faktor hilang e” ,
maka ketergantungan σ terhadap waktu pada frekuensi yang berbeda perlu diamati.
Hasil pengamatan ini juga telah ditunjukkan pada Gambar 11 di atas.
Ketika
reaksi dimulai, konduktivitas menunjukkan nilai yang tertinggi karena
viskositasnya sangat rendah, dan ion memiliki mobilitas yang cukup. Selanjutnya
selama reaksi berlangsung, viskositas meningkat sehingga mobilitas ionnya menurun.
Hal ini menyebabkan konduntivitas juga ikut menurun dan mencapai nilai konstan,
dimana hal ini menunjukkan titik gel.
Monomer
benzoxazine menunjukkan titik gel yang berbeda. Monomer Ba-BZA menunjukkan
titik gel yang terendah (40 menit) yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi
oligomer dari monomer inisial (hal ini telah dikonfirmasi sebelumnya oleh GPC,
DSC dan 1H NMR). Oligomer-oligomer ini berperan sebagai katalis
untuk reaksi polimerisasi melalui gugus fenolik. Monomer BA-CHA mencapai titik gel setelah 40 menit,
konsentrasi awal oligomer nya lebih kecil daripada BA-BZA. Untuk monomer BF-BZA
dan BF-CHA, titik gel dicapai pada 70 menit untuk BF-BZA dan 80 menit untuk
BF-CHA. Konsentrasi awal oligomer dari kedua monomer ini hampir sama, sehingga
efek katalitik menjadi tidak diperhitungkan. Perbedaan rekativitas antara
BF-CHA dan BF-BZA juga bisa diterangkan dengan melihat keelektronegatifan atom
oksigen pada cincin oxazine. Pada monomer BF-CHA, cincin oxazine juga
mengandung atom nitrogen yang memiliki gugus sikloheksil sebagai substituennya
yang menginduksikan densitas elektron yang lebih besar pada gugus benzil.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan tentang peran DETA dalam penelitian ini.
Analisa DETA memberikan nilai waktu gel dari tiap monomer, sehingga memberikan
informasi pula terhadap reaktivitas monomer benzoxazine. Tingginya perbedaan
reaktivitas monomer yang berbasis BA dan BF disebabkan oleh konsentrasi awal
oligomer pada tiap monomer, sementra perbedaan kecil pada reaktivitas monomer
yang berbasis pada fenol yang sama dengan amina yang berbeda dijelaskan
berdasarkan kepadatan elektron pada atom
nitrogen dari amina (Gârea dkk,
2007).
5.
Referensi
Gârea, S. A., Iovu. H., Nicolescu, A. dan Deleanu, C., 2007.,
Thermal polymerization of benzoxazine monomers followed by GPC, FTIR and DETA.,
Polymer testing, 26, 162-171.
http://www.becketttechnology.com/downloads/TTInf_2007_What%20is%20DETA.pdf
http://becketttechnology.com/