Kamis, 28 Juni 2012

It's still my dream


Germany is not a strange word for me since I was child. From the television, newspapers, articles or even textbooks in my schools often told about it. From the elementary school, I had been introduced to Germany, when I studied about some countries in Europe. But, absolutely it was about Germany in general, about the political system, economy, industries and the famous Berlin wall. Many articles, television, books gave me more information about it, about NAZI with its Adolf Hitler, Germany’s role in World War II, and the most influencial information to me, as Indonesian, that was one of our Presidents, a great engineer, the only man in Indonesia or even in South East Asia who could create the aeroplane in that time, Mr. President B.J Habibie, had ever studied and lived in Germany before his return to Indonesia. That all informations opened my mind about Germany. At least, in my first perception, Germany is very developed and influencial country among the others. And that was why, we had to learned about it in that time.

When I was a child, I didn’t really think to study in most of my time, I mean, I just thought that I had to finished my schools, my bachelor degree, and then work. That’s it. However, this thought is changed when I begin  to enjoy my study. I begin to enjoy the knowledge I’ve got. I get my own pleasure when I study and learn about something new. I know something that other peoples don’t know about it, I can tell them, I can teach them and it is nice. I begin to think, if I had chance, I will continue my study. Not only in bachelor degree, but also in higher degree, master, docotorate, until the top. I think, in social aspect, by getting high education, I can increases my family level of life too. I just imagine, how happy may parents are if their son will be Doctor. Yes, getting my own satisfactory for the idealism, and increases the standard life in realism aspect, two advantages that I can get by getting high education degree.

Now, I’m studying in the Department of Chemistry, Sepuluh Nopember Institute of Technology (ITS). The education atmosphere here, especially in my department is really influencing my mind. My lecturers are often the the graduated Ph.D students from some universities from countries abroad, like Australia, UK, France, Japan and of course Germany. By them, I can get more information about that each country, the lifestyle, academic style, etc. They often motivate us to fight, to continue our study abroad, to get the knowledge and apply it in Indonesia in many sectors. Mrs. Nurul by her story about Australia and it’s science, she always motivated us to study abroad and come back again to Indonesia, to develop our own country.  Their stories, their experiences and their motivation increases my motivation to study abroad.

Another lecturer who always gives us her stories about her experiences is Mrs. Irmina. She studied in Germany for her doctorate degree. From Mrs. Irmina, I get more information about more specific aspect in Germany, its about the sciences and education there. She said that the sciences in Germany are so developed, with the good facilities, infrastuctures, great scientists and good quality universities, institutes, etc. And then, by her, I begin to realize that we, as the chemistry students, are familiar with Germany, actually. When we do the experiements, or researches, the materials or reagent we used are often from Merck, Sigma Aldrich, which  come from Germany. She opened my mind that Germany must be developed in their chemical industries so that they can export the really advance material such that reagents. It means, the sciences there is also developed. 

The familiarity with the Germany are further developed. In our lectures, we often met the German scientists, like Otto Diels, and Kurt Alder who supposed the Diels-Alder reaction, Johann Wolfgang Döbereiner with his Triad Döbereiner, Herman Emil Fischer with his Fischer projection and many other scientists. I think that it’s absolutely right if the sciences in Germany is so developed, because it has many good scientists in its history. Until now, it is still mentioned in many articles that Germany is one of the best destination for Indonesian students to continue their study due to its developed sciences and engineer, and also good quality education. All these facts, motivate me that sometime, if I had opportunity, I want to study in Germany. It’s my dream.

By following the Fast Track Programme held by Indonesian Governments, the opportunity is opened to me. At least, I have a chance to study doctorate programme in Germany. During my study, I concern my research to solid state chemistry. That is about Aurivillius oxide for my script in bachelor degree, and for thesis, I have a plan to concern to perovskite as a inorganic membrane. Both topic have similiarity, in which Aurivillius structure is composed by perovskite-like structure and both, are included in solid state chemistry. If I study in Germany, I would like to concern my research in this field, solid state chemistry, especially perovskite material and its application. I hope, everything will be alright, and this programme will always “on the track” as its purposed.

It’s my dream, and I’ll always pray that my dream will come true, by the grace of God.

Jumat, 22 Juni 2012

Dynamic Vapour Sorption (DVS) Analysis


1.        Pendahuluan dan Prinsip 

Dynamic Vapour Sorption ((DVS) adalah teknik gravimetri yang mengukur seberapa cepat dan berapa banyak zat terlarut terserap ke dalam sampel, misalnya serbuk kering yang mengadsorp air. Analisa dengan DVS dilakukan dengan mengenai sampel dengan berbagai variasi kondisi kelembapan pada suhu tertentu, kemudian respon sampel diukur secara gravimetri, yakni perubahan massa sampel terhadap fungsi kelembapan relatif. Dalam hal ini, DVS  merupakan teknik untuk mengkaji desorpsi/sorpsi air dan senyawa organik pada material partikulat. DVS pada dasarnya dikembangkan untuk menggantikan peran desikator dan larutan garam jenuh untuk mengukur isotermal serapan (sorpsi) uap air.

Aplikasi utama DVS adalah untuk mengukur serapan air isotermal. Secara umum, serapan air isotermal menunjukkan kesetimbangan jumlah uap yang terserap sebagai fungsi keadaan tunak tekanan uap relatif pada suhu konstan. Untuk serapan air isotermal, tekanan uap relatif air lebih umum dinyatakan dalam kelembapan. Pada DVS, massa sampel harus dibuat untuk mencapai kesetimbangan gravimetri pada tiap perubahan kelembapan sebelum meningkat pada tingkat kelembapan yang berikutnya. Kemudian, nilai masa kesetimbangan pada tiap tahap kelembapan relatif  digunakan untuk menghasilkan kondisi isotermal. Kondisi isotermal umumnya dibedakan menjadi dua komponen, yakni sorption (sorpsi) untuk peningkatan tahap kelembapan, dan desorption (desorpsi) untuk penurunan tahap kelembapan. Sorption (sorpsi) dapat dibagi lagi menjadi adsorption (adsorpsi), dimana adsorbat berada pada permukaan adsorben, dan absorption (absorpsi), dimana absorbat berada dalam fasa bulk absorben. Instrumen DVS ditampilkan pada Gambar 1, sementara skema instrumen DVS ditampilkan pada Gambar 2.



Gambar 1. Instrumen Dynamic Vapour Sorption (DVS) dari Quantachrome.


Gambar 2. Skema instrumen DVS
 (Levoguer dan Williams, 2006)

2.        Prosedur Eksperimental
Pada eksperimen DVS, kelembapan relatif (%RH) dinaikkan secara bertahap dari tingkat inisial rendah (baik pada kelembapan ambien atau o%RH) ke tingkat yang tinggi (90-95% RH), kemudian diturunkan kembali menuju tingkat rendah. Dalam beberapa kasus kelembapan relatif ini bisa dinaikkan kembali ke tingkat yang lebih tinggi tergantung kebutuhan analisa. Laju dimana material atau sampel setimbang pada tiap tiangkat kelembapan, yang pada akhirnya juga mengahasilkan keseluruhan bentuk profil adsorpsi/desorpsi akan memberikan informasi yang berguna tentang struktur dan kestabilan jangka panjang dari material (Hassel dan Hesse, 2007).

Analisa dengan DVS umumnya menggunakan wadah atau tampat sampel berupa wadah kuarts (quartz pan). Sejumlah sampel yang massanya telah diketahui kemudian ditambahkan pada wadah kuarts yang sebelumnya telah ditimbang terlebih dahulu. Kemudian ruang kelembapan (humidity chamber) ditutup dan disegel. Sementara itu wadah kuarts kosong digunakan sebagai referensinya, dan analisa baru dijalankan pada suhu yang tetap. Pada saat analisa dijalankan, sampel diberikan beberapa kelembapan relatif spesifik, misalnya 0%, 10%, 20% dan setersuasnya sampai 90% pada periode waktu tertentu, biasanya 200 menit (Hunter dkk, 2010).

Profil adsorpsi desorpsi yang diperoleh berupa perubahan massa sampel menurut fungsi kelembapan relatif (%RH). Salah satu contoh profil DVS ditampilkan pada Gambar 3 yang menunjukkan profil DVS dari senyawa prednison. Pada profil ini kelembapan relatif (%RH) dinaikkan dari tingkat rendah ke tingkat tinggi, kemudian diturunkan untuk mengkaji proses desorpsinya, selanjutnya ditingkatkan lagi. Perlakuan ini pada akhirnya menghasilkan tiga buah grafik atau kurva dari satu sampel dalam satu kali proses analisis.


Gambar 3. Data adsorpsi permukaan pada prednison
(Hassel dan Hesse, 2007)


3.        Aplikasi Penggunanan Dynamic Vapour Sorption (DVS)
Salah satu aplikasi penggunaan DVS adalah untuk mempelajari dan mengkaji proses fotodegradasi dan pelapukan yang terjadi pada kayu akibat perilaku kelembapan di lapisan permukaan kayu tersebut, seperti dilaporkan oleh Sharratt dkk. (2010). 

Penelitian ini menjadi penting karena proses pelapukan kayu sangat dipengaruhi oleh perilaku kelembapan pada permukaan kayu yang pada akhirnya bisa menyebabkan fotodegradasi pada kayu tersebut. Hal ini umum terjadi di alam misalnya sebagai akibat dari adanya hujan, salju atau peristiwa pengembunan. Hubungan antara kelembapan dan kayu dipengaruhi pula oleh perubahan karakter atau sifat pada lapisan permukaan disebabkan oleh fotodegradasi atau keberadaan lapisan coating yang berperan sebagai penghalang interaksi antara kayu dengan uap air. Sehingga untuk memahami apa yang terjadi pada lapisan permukaan kayu yang di coating, maka analisa DVS dilakukan pada sampel kayu kecil. Dengan analisa seperti ini, maka perubahan dinamik pada kandungan kelembapan kayu yang disebabkan oleh perubahan uap air dapat diukur. Dalam hal ini menggunakan serapan (sorpsi) isotermal.

Sampel (earlywood dan latewood) yang digunakan pada penelitian ini meliputi beberapa jenis, yakni:
·         Pinus yang tak terpapar.
·         Pinus yang terpapar di luar ruangan (Outdoor exposed, OE), sampel ini diperoleh dari lapisan permukaan papan kayu pinus yang tidak di coating yang telah terpapar di lingkungan selama 18 bulan.
·         Pinus yang terpapar di dalam ruangan (Indoor exposed, 500 jam, kering), sampel ini diperoleh dari sebilah pinus yang telah dipaparkan dalam instrumen Q-Sun Xe-1 selama 500 jam.
·         Pinus yang terpapar di dalam ruangan (Indoor exposed, paparan basah, semprotan air), sampel dipaparkan dalam Q-Sun Xe-1 selama 98 jam dan dikenai semprotan air selama 10 menit tiap jam.

Earlywood adalah kayu yang dihasilkan pada awal musim semi, atau disebut juga springwood. Sementara latewood adalah kayu yang dihasilkan pada akhir musim semi, mendekati musim panas, atau disebut juga summerwood.

Hasil analisa DVS menunjukkan beberapa hal yang menarik. Gambar 4 menunjukkan isotermal yang diperoleh dari percobaan dari dua sampel earlywood dan dua sampel latewood kayu pinus yang tidak terpapar. Isotermal tersebut menunjukkan karakteristik bentuk histerisis sigmoidal antara loop adsorpsi dan desorpsi isotermalnya. Isotermal kayu pinus earlywood dan latewoodnya memiliki sedikit perbedaan pada rentang %RH yang lebih tinggi. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh pengaruh kondensasi kapiler.


Gambar 4. Perbandingan isotermal yang didapat secara eksperimental dari dua buah pinus
      earlywood dan latewood yang tidak terpapar.

Gambar 5a menunjukkan isotermal dari sampel earlywood (tak terpapar, diberi paparan sinar UV-Vis selama 500 jam dan sampel yang terpapar di luar ruangan). Kurva adsorpsi dan desorpsi untuk sampel tak terpapar dan paparan basah (98 jam) mirip terhadap semua isotermal walaupun semuanya tidak ditampilkan disini. Hal ini mungkin disebabkan oleh waktu pemaparan cahaya yang terlalu sebentar. Sampel yang terpapar di luar ruangan memiliki tingkat adsorpsi yang lebih rendah yakni pada pertengahan RH (%) pada rentang (30-90%). Pada tingkat RH yang lebih tinggi dan lebih rendah, sampel yang terpapar di luar ruangan memiliki tingkat uptake yang mirip dengan sampel yang tidak terpapar. Perbedaan terbesar pada isotermal yang tergantung pada pencahayaan terlihat antara sampel tak terpapar dengan sampel yang terpapar 500 jam. Sampel yang terpapar selama 500 jam menunjukkan kandungan kelembapan yang lebih rendah dengan histerisis yang lebih kecil pada daerah tengah RH.


Gambar 5. (a) Isotermal yang didapat secara eksperimental pada sampel pinus earlywood yang
      tidak terpapar dan terpapar menunjukkan perbedaan yang disebabkan oleh pemaparan
      cahaya. (b) Isotermal yang diperoleh secara eksperimental pada sampel pinus latewood
      yang tidak terpapar dan terpapar menunjukkan perbedaan akibat   pemaparan cahaya.

Gambar 5b menunjukkan isotermal untuk sampel latewood yang dibandingkan terhadap data earlywood yang disajikan pada Gambar 5a. Sampel latewood menunjukkan perilaku yang mirip dengan sampel earlywood, dimana kandungan kelembapan pada RH yang diberikan menurun dalam urutan tak terpapar > terekspos di luar ruangan > terpapar 500 jam. Pencahayaan di bawah sinar UV-Vis lebih lanjut pada kondisi kering, atau pelapukan di luar ruangan, telah menurunkan kapasitas serapan (sorpsi) kayu terhadap air.

Pada penelitian ini dibahas pula faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kapasitas serapan itu. Sejauh ini turunnya kapasitas serapan itu disebabkan oleh tiga mekanisme, yakni:
·         Reduksi pada jumlah sisi serapan (gugus OH) pada dinding sel kayu.
·         Pembengkakan terkendali, baik akibat dari penahan eksternal atau karena meningkatnya ikat silang antara komponen makromelokuler pada dinding sel.
·         Bulking dari dinding sel disebabkan oleh deposisi material dalam dinding sel nanopori.
Mekanisme yang terakhir ini dapat diabaikan dalam kasus penilitian ini karena mekanisme ini membutuhkan impregnasi yang disengaja dan fiksasi kimia dari dinding sel. Reduksi OH berhubungan dengan penghilangan sisi yang berikatan (misalnya asetilasi) atau disebabkan oleh penghilangan komponen dinding sel seperti selulosa atau hemiselulosa. Hal ini mungkin disebabkan oleh irradiasi UV yang dapat menyebabkan pemotongan rantai polisakarida dan hal ini juga telah didukung fakta jika hemiselulosa menghilang di bawah iradiasi UV dan proses pelapukan. Selulosa juga terdepolimerisasi dan α-selulosa berkurang pula oleh irradiasi UV tersebut.
Penelitian ini menunjukkan jika peristiwa serapan (sorpsi) dari uap terhadap suatu material dengan instrumen DVS dapat digunakan untuk memahami sifat dan mekanisme yang terjadi  pada material tersebut, dalam hal ini kayu terutama pada proses fotodegradasi dan pelapukannya. Penelitian ini memberikan informasi jika perbedaan perilaku kayu-uap tergantung pada jenis paparan yang mengenainya. Efek yang tampak menunjukkan jika afinitas uap yang lebih rendah untuk uap pada sampel yang terfotodegradasi ketika tidak terdapat pelepasan yang disebabkan oleh perubahan awal uap. Hal ini diyakini terjadi karena polimerisasi silang sisi serapan air pada lignin dapat dimasuki oleh uap.
(Sharratt dkk, 2010)

4.        Referensi
Hassel, R. L. dan Hesse, N. D., 2007., Investigation of pharmeceutical stability using dynamic vapor sorption analysis., TA Instrumen, 109 Lukens Drive, New Castle, USA.
Hunter, N. E., Frampton, C.S., Craig, D. Q. M. dan Belton, P. S., 2010., The use of dynamic vapour sorption methods for the characterization of water uptake in amorphous trehalose., Carbohydrate Research, 345, 1938-1944.
Levoguer, C. L. dan Williams, D.R., 2006., The characterization of pharmaceutical materials by dynamic vapour sorption., Application note 101.
Sharratt, V., Hill, C. A. S., Zaihan, J. dan Kint, D. P. R., 2010., Pfotodegradation and weathering effect on timber surface moisture profile as studied using dynamic vapour sorption., Polymer Degradation and Stability, 95, 2659-2662.

Dielectric Thermal Analysis (DETA)


1.        Pendahuluan

Pengukuran dielektrik merupakan cara yang analog secara elektrik dengan  pengukuran dinamika mekanik. Dalam hal ini tegangan mekanik digantikan oleh  tegangan bolak balik yang melewati sampel (medan AC) dan regangan bolak balik menjadi penyimpan muatan (Q) dalam sampel. Sampel yang terkena efek tegangan tersebut bertindak sebagai kapasitor sederhana. Q selalu diukur sebagai turunan dari dQ/dt = arus AC. Analisa ini umumnya dilakukan untuk mengkaji perilaku curing dari sistem resin termosetting, material komposit, bahan perekat, polimer dan cat.

Data dielektrik didapatkan dari pengukuran fasa dan amplitudo arus dan tegangan untuk menyelesaikan komponen ε* = kapasitansi dengan sampel/kapasitansi dengan suatu gap udara identik. Gambar instrumen DETA ditunjukkan pada Gambar 1.



Gambar 1. Salah satu instrumen DETA dari Beckett Technology


2.        Teori
Material layaknya polimer dapat menunjukkan perilaku kapasitif (kemampuan untuk menyimpan muatan listrik) dan juga perilaku konduktif (kemampuan untuk melewatkan muatan listrik). Di bawah kondisi yang diberikan, material yang diuji dapat direperesentasikan oleh resistor (konduktor) dan kapasitor secara paralel. Hal ini seperti ditunjukkan pada Gambar 2.


Gambar 2. Representasi resistor dan kapasitor secara paralel pada material polimer

Jika suatu tegangan sinosidal diberikan pada suatu resistor (konduktor), arus yang dihasilkan yang diukur berada di fasa dengan tegangan yang diberikan. Tidak terdapat penyimpanan pada muatan manapun oleh resistor.

Ketika tegangan pada periode yang sama diberikan pada kapasitor, terjadi beberapa penyimpanan muatan dan sebagai hasilnya arus terukur tampak di luar fasa akibat tegangan yang diberikan tersebut. Pergeseran fasa dinotasikan sebagai delta, δ, bernilai 0° untuk konduktor sesungguhnya dan 90° untuk kapasitor sesungguhnya. Hal ini ditampilkan pada Gambar 3. Material polimer menunjukkan baik sifat kapasitif maupun konduktif. Hasilnya adalah pergeseran fasa di antara 0° dan 90°.


Gambar 3. Pergeseran fasa pada kapasitor dan konduktor

Arus yang terukur (disimbolkan “Imeas”) untuk material polimer dapat dipisahkan ke dalam komponen-komponen kapasitif dan komponen-komponen konduktifnya. Diagram Argand (Gambar 4) menggambarkan hal ini dengan mengikuti:
Ikonduktif = Imeas x cos(fasa)
Ikapasitif = Imeas x sin(fasa)

Diagram Argand yang ditunjukkan pada Gambar 4 menunjukkan jika diagram ini memparalelkan perlakuan modulus kompleks yang digunakan pada data DMA. Nilai tan δ tidak sebanding untuk proses mekanik dan listrik.


Ikonduktif = Imeas x cosδ
Ikapasitif = Imeas x sinδ
Gambar 4. Diagram Argand

Kapasitansi dan konduktansi material kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Kapasitansi = Imeas x sin δ/Vin x 2πf
Konduktansi = resistensi – 1 = ImeascosδVin

Dimana 2πf adalah frekuensi angular dan f  adalah frekuensi
Jika geometri sampel diketahui, maka akan mungkin untuk mengekspresikan respon kapasitif dan konduktif material sebagai kuantitas tak berdimensi:
e’ konstanta dielektrik atau permitivitas
e” faktor hilang
Istilah lain yang umum digunakan untuk mengekspresikan respon dielektrik adalah faktor pemborosan (dissipation) atau tangen hilang:

tan delta = e”/e’

Untuk elektroda bidang paralel, e’ dan e” dapat dihitung dari pengukuran kapasitansi dan konduktansi, untuk sampel homogen dengan mengikuti:
e’ Cd/e0A
e” = d/RAW e0
dimana:
C = kapasitansi
R = resistansi
A = luas bidang elektroda
D = jarak bidang
W = frekuensi angular (2πf)
e0 = permitivitas absolut pada free space (8,85 x 10-12 F/M)
Beberapa fenomena menyebabkan material polimer memiliki komponen kapasitif (e’) dan konduktif (e”). Fenomena tersebut antara lain:

·         Dipol terinduksi
Pemisahan muatan pada ikatan non polar yang disebabkan oleh keberadaan medan listrik. Ikatan-ikatan tersebut bereaksi begitu cepat ke medan listrik dimana frakuensinya independen.
·         Dipol statis
Dipol statis ini membutuhkan gerakan molekuler untuk mengorientasikannya ke medan listrik yang diberikan sehingga frekuensinya menjadi dependant.
·         Konduksi ionik
Konduksi ionik disebabkan oleh aliran ion, yang biasanya berupa pengotor yang terdapat pada medan listrik. Mobilitasnya tidak tergantung frekuensi.

Gambar 5 menunjukkan pengaruh penerapan medan listrik terhadap material polimer. Ketika medan diberikan, dipol berusaha mengarahkan medan dan pergerakan ion berlawanan dengan muatan elektroda.



Gambar 5. Pengaruh medan listrik pada material polimer


Nilai e’ dan e” dihitung dari persamaan yang mengkuantitaskan hubungan ini:

e’ = permitivitas yang disebabkan dipol terinduksi + permitivitas yang disebabkan oleh penyearahan dipol
e” = dipol faktor hilang + konduktansi ionik.

e’ merepresentasikan jumlah penyearahan dipol terhadap medan listrik. e’ bernilai kecil untuk polimer pada suhu yang rendah, dibawah transisi termal, karena molekul dibekukan pada tempatnya dan dipol tidak bisa bergerak untuk menyearahkan dirinya dengan medan listrik. Hal yang serupa, dimana e’ bernilai rendah untuk resin termosetting yang terikat silang secara mampat.
e” mengukur jumlah energi yang dibutuhkan untuk menyearahkan dipol dan ion yang bergerak. Konduksi ionik tidak signifikan sampai polimer menjadi fluida (diatas Tg atau Tm). e” menunjukkan energi yang dibutuhkan untuk menyearahkan dipol di bawah dan selama Tg. e” menggambarkan sebuah puncak ketika polimer melewati Tg. Diatas Tg, e” digunakan untuk menghitung konduktivitas ionik bulk:
σ = e”We0
dimana
σ = konduktivitas ionik
W = frekuensi angular
e0 = permitivitas abolut pada free space (8,85 x 10-12 F/M)
Konduktivitas ionik bulk (σ) dapat digunakan untuk mengikuti perubahan reologi yang terjadi selama proses termoplastik dan pengarusan termoset. Konduktivitas ionik berhubungan dengan viskositas, karena fluiditas diidentifikasikan dari penurunan dimana pengotor ionik dapat bermigrasi melalui sampel.

3.        Prosedur Eksperimen
Sampel umumnya berupa lembaran tipis, film atau cairan yang ditaruh diantara bidang elektroda paralel sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 6.


Gambar 6. Elektroda  pada DETA
Pada proses preparasi ini sangat penting untuk memastikan adanya kontak yang sempurna antara sampel dan elektroda, sehingga sampel idealnya memiliki permukaan yang halus tanpa adanya gelombang/permukaan yang tidak rata. Umumnya, sampel yang lebih tipis lebih baik daripada sampel yang tebal. Ketebalan ideal yang dari sampel adalah 2 mm atau kurang.

Apabila suatu sampel tidak halus/rata, maka dibutuhkan pelapisan percikan (sputter coating) pada sampel tersebut dengan coating yang bersifat konduktif medium. Bahan coating yang ideal adalah emas, namun biayanya cenderung mahal. Perak atau aluminium dapat pula digunakan sebagai bahan coating namun permukaan dapat teroksidasi dengan cepat sehingga analisanya pun harus dilakukan secepat mungkin setelah sampel selesai dipreparasi.

Pelapisan (coating) ini akan menghilangkan gap udara antara sampel dengan elektroda efektif (yakni logam yang terlapisi secara sputter) sehingga akan mengeliminasi data yang tidak diperlukan. Alternatif yang bisa dilakukan adalah coating dari  material yang inert secara dielektrik dapat diterapkan pada sampel untuk menghilangkan kantung udara. Material tersebut umumnya berupa jeli minyak (petroleum jelly).

Elektroda DETA pada umumnya bersifat spring loaded untuk memelihara kontak positif dengan sampel melalui profil termal. Elektroda tersebut dapat dikunci ke dalam tempat jika memang dibutuhkan untuk menghindari fluida yang bertekanan tumpah keluar. Contoh hasil analisa yang diperoleh seperti ditunjukkan pada Gambar 7 di bawah ini.



Gambar 7. Grafik hasil analisa DETA


4.        Aplikasi Penggunanan Instrumen DETA
Instrumen DETA dapat digunakan untuk beberapa aplikasi utamanya untuk melakukan kajian terhadap karakter suatu material atau suatu proses tertentu yang terjadi dalam material tersebut. Salah satunya adalah untuk mempelajari proses polimerisasi termal dari monomer-monomer benzoxazine untuk membentuk polimer polibenzoxazine seperti yang dilakukan oleh Gârea dkk. (2007).

Polibezoxazine merupakan salah satu jenis resin fenolik termosetting yang memiliki beberapa sifat unggulan antara lain suhu transisi gelas (Tg) yang tinggi, stabilitas termal yang tinggi, sifat mekanik yang baik, adsorpsi air yang rendah, resistensi yang baik terhadap pembakaran dan juga harganya yang murah. Material ini banyak dipalikasikan sebagai material lapisan pelindung pada sirkuit televisi, chip komputer, badan pesawat terbang, agen curing untuk resin sintetis yang lain serta pernis yang membentuk film tipis dengan resistensi yang baik terhadap air, alakali dan pelarut.

Polimerisasi pada monomer benzoxazine melalui pemutusan cincin heterosiklik pada suhu tinggi tanpa adanya katalis dan tanpa menghasilkan produk samping. Sampai saat ini sudah banyak jenis senyawa fenol dan amina primer yang telah digunakan untuk sintesis resin benzoxazine.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji proses polimerisasi termal dari empat monomer benzoxazine yang berbeda, yakni bis(4-benzil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil) isopropana (BA-BZA), bis(4-sikloheksil-3,4-dihidro-2H-1,3 benzoxazinil) isopropana (BA-CHA), bis(4-benzil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil)metana (BF-BZA), bis(4-sikloheksil-3,4-dihidro-2H-1,3-benzoxazinil) metana (BF-CHA) dengan beberapa teknik antara lain kromatografi permeasi gel (GPC) FTIR, dan DETA. Reaktan utama yang digunakan dalam sintesis keempat jenis monomer benzoxazine tersebut adalah formaldehid, benzilamin (BZA), sikloheksilamin (CHA), bisfenol A (BA), bisfenol F (BF). Dalam makalah ini hanya akan dibahas peran analisa dengan DETA pada proses polimerisasi monomer benzoxazine tersebut. Dalam hal ini, DETA juga digunakan untuk menentukan waktu gel.

Analisa dengan DETA dilakukan dimana jarak minimum antara elektroda atas dan bawah adalah 0,1 mm. Eksperimen dilakukan pada empat frekuensi yang berbeda dalam rentang 0,316-10 Hz dan pada laju pemanasan 5 °C/menit.

Reaksi umum untuk sintesis monomer benzoxazine ditunjukkan pada Gambar 8, sementara struktur benzoxazine yang disintesis ditunjukkan pada Gambar 9.



Gambar 8. Reaksi kimia pada sintesisi monomer bezoxazine.


Gambar 9. Struktur molekul monomer benzoxazine yang disintesis.

Analisa awal yang dilakukan dengan FTIR dan GPC menghasilkan skema polimerisasi termal dari polibezoxazin seperti ditunjukkan pada Gambar 10.


Gambar 10. Reaksi pada sintesis polibenzoxazine melalui polimerisasi termal.

Hasil analisa dengan DETA ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar tersebut menunjukkan plot antara konduktivitas ionik terhadap fungsi waktu selama proses polimerisasi isotermal pada suhu 170 °C. Konduktivitas ionik dihitung dari faktor hilang menurut persamaan 

Dimana σ merupakan konduktivitas ionik, e0 adalah permitifitas absolut pada free space (8,85 x 10-12 F/m), e” faktor hilang dielektrik, w merupakan frekuensi angular.


Gambar 11. Grafik konduktivitas ion terhadap waktu untuk polimerisasi isotermal (170 C)
       dari monomer benzoxazine pada frekuensi yang berbeda: (1) 0,316 Hz, (2) 1
        Hz, (3) 3,16 Hz, dan (4) 10 Hz

Terdapat dua fenomena utama yang memberikan pengaruh terhadap e” , yakni konduktivitas ionik dan relaksasi dipol. Pada permulaan reaksi polimerisasi, konduktivitas merupakan faktor yang dominan, namun menjelang akhir dari reaksi, e” menjadi lebih tergantung pada relaksasi dipol. Kajian yang saat ini telah diketahui adalah jika konduktivitas ionik tidak tergantung pada frekuensi, namun relaksasi dipol tergantung pada frekuensi. Untuk mengungkap kontribusi dari kedua faktor tersebut terhadap faktor hilang e” , maka ketergantungan σ terhadap waktu pada frekuensi yang berbeda perlu diamati. Hasil pengamatan ini juga telah ditunjukkan pada Gambar 11 di atas.

Ketika reaksi dimulai, konduktivitas menunjukkan nilai yang tertinggi karena viskositasnya sangat rendah, dan ion memiliki mobilitas yang cukup. Selanjutnya selama reaksi berlangsung, viskositas meningkat sehingga mobilitas ionnya menurun. Hal ini menyebabkan konduntivitas juga ikut menurun dan mencapai nilai konstan, dimana hal ini menunjukkan titik gel.

Monomer benzoxazine menunjukkan titik gel yang berbeda. Monomer Ba-BZA menunjukkan titik gel yang terendah (40 menit) yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi oligomer dari monomer inisial (hal ini telah dikonfirmasi sebelumnya oleh GPC, DSC dan 1H NMR). Oligomer-oligomer ini berperan sebagai katalis untuk reaksi polimerisasi melalui gugus fenolik. Monomer  BA-CHA mencapai titik gel setelah 40 menit, konsentrasi awal oligomer nya lebih kecil daripada BA-BZA. Untuk monomer BF-BZA dan BF-CHA, titik gel dicapai pada 70 menit untuk BF-BZA dan 80 menit untuk BF-CHA. Konsentrasi awal oligomer dari kedua monomer ini hampir sama, sehingga efek katalitik menjadi tidak diperhitungkan. Perbedaan rekativitas antara BF-CHA dan BF-BZA juga bisa diterangkan dengan melihat keelektronegatifan atom oksigen pada cincin oxazine. Pada monomer BF-CHA, cincin oxazine juga mengandung atom nitrogen yang memiliki gugus sikloheksil sebagai substituennya yang menginduksikan densitas elektron yang lebih besar pada gugus benzil.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan tentang peran DETA dalam penelitian ini. Analisa DETA memberikan nilai waktu gel dari tiap monomer, sehingga memberikan informasi pula terhadap reaktivitas monomer benzoxazine. Tingginya perbedaan reaktivitas monomer yang berbasis BA dan BF disebabkan oleh konsentrasi awal oligomer pada tiap monomer, sementra perbedaan kecil pada reaktivitas monomer yang berbasis pada fenol yang sama dengan amina yang berbeda dijelaskan berdasarkan kepadatan elektron  pada atom nitrogen dari amina (Gârea dkk, 2007).

5.        Referensi
Gârea, S. A., Iovu. H., Nicolescu, A. dan Deleanu, C., 2007., Thermal polymerization of benzoxazine monomers followed by GPC, FTIR and DETA., Polymer testing, 26, 162-171.

http://www.becketttechnology.com/downloads/TTInf_2007_What%20is%20DETA.pdf

http://becketttechnology.com/